Selasa, 09 Desember 2008

Diperlukan Kemauan Politik Pemerintah

Pemeo yang mengatakan bahwa golongan masyarakat menengah ke atas akan semakin kaya, sementara golongan masyarakat menengah ke bawah yang hidupnya serba pas-pasan justru akan semakin miskin tampaknya berlaku bagi warga Jakarta. Sebab, kini ada kecenderungan hanya mereka yang punya duit saja yang bisa memiliki rumah di tengah-tengah kota akibat mahalnya harga lahan.
Sementara mereka yang termasuk golongan masyarakat kelas bawah makin terpinggirkan. Mereka tinggal semakin jauh dari Kota Jakarta akibat makin tidak terjangkaunya harga rumah.
Kemacetan lalu lintas
Rumah-rumah "murah", baik yang dibangun Perumnas (BUMN yang ditugasi membangun rumah dengan harga yang terjangkau masyarakat menengah ke bawah atau istilah populernya rakyat kecil) maupun swasta, hanya bisa dibangun di daerah-daerah pinggiran kota, seperti Bekasi, Tangerang, atau Bogor, yang harga lahannya relatif lebih murah. Adapun rumah-rumah mewah yang mahal bisa dengan mudah dibangun di tengah-tengah kota.
Ironis memang, sudah penghasilannya serba terbatas, rakyat kecil yang tinggal di rumah-rumah yang dikenal dengan sebutan rumah sederhana/rumah sangat sederhana (RS/RSS) masih harus dikuras lagi akibat biaya transportasi yang tinggi untuk bisa mencapai tempat bekerja di Jakarta. Belum lagi waktu yang terbuang di jalan akibat makin parahnya kondisi lalu lintas di Jakarta dan sekitarnya.
Transportasi murah
Memang, transportasi umum yang murah, seperti kereta api yang menghubungkan pinggiran Jakarta dengan pusat kota, sudah ada. Namun, akibat kurangnya perhatian terhadap moda transportasi rakyat itu, selain tidak nyaman, jumlahnya masih sangat terbatas.
Sebenarnya sudah sejak era Orde Baru ketimpangan itu coba diatasi dengan pembangunan rumah susun sederhana untuk masyarakat kelas menengah ke bawah. Kebijakan itu dirintis melalui pembangun rumah susun sederhana pertama di kawasan Tanah Abang dan Kebon Kacang, keduanya terletak Jakarta Pusat pada akhir tahun 1970-an.
Namun, dalam perkembangannya, tujuan pembangunan rumah susun sederhana (yang notabene disubsidi pemerintah) untuk meningkatkan kualitas hidup rakyat kecil telah banyak yang melenceng alias salah sasaran. Karena, akibat makin mahalnya harga tanah di sekelilingnya, yaitu di kawasan Segi Tiga Emas (Sudirman-Thamrin-Kuningan), banyak unit-unit hunian rumah susun Tanah Abang dan Kebon Kacang yang dijual oleh pemilik aslinya kepada mereka yang relatif lebih mampu. "Pada saat itu kami sulit melarang pemilik menjual rumahnya karena statusnya sudah menjadi hak milik penuh mereka," kata seorang pejabat Perumnas.
Selain itu, lingkaran kemiskinan, yang bak mana lebih dahulu, telur atau ayam, juga terjadi di kalangan penghuni rumah susun sederhana. Akibat badai krisis moneter tahun 1998, misalnya, sebagian besar dari sekitar 750 keluarga penghuni rumah susun Tambora di Jakarta Barat yang kebanyakan pekerja informal tak mampu membayar cicilan/sewa yang tiap bulannya sekitar Rp 150.000.
Buntutnya, pihak pengelola, yaitu Dinas Perumahan DKI Jakarta, kewalahan untuk mengatasi minimnya biaya pemeliharaan. Sampah dan genangan air berserakan di setiap pojok rumah susun yang dibangun untuk warga korban kebakaran itu.
Akibatnya, lingkungan rumah susun yang pada mulanya baik kembali jadi kumuh atau kembali lagi jadi "slum area" (kawasan kampung-kampung kumuh di perkotaan). Sekali lagi, tujuan mulia pembangunan rumah susun sederhana untuk meningkatkan kualitas hidup rakyat kecil tampaknya meleset.
Saat ini, akibat kendala lahan, hanya instansi pemerintah saja yang bisa membangun rumah susun sederhana, seperti Perumnas dan Dinas Perumahan DKI Jakarta. Jumlah hunian rumah susun sederhana di DKI Jakarta diperkirakan baru sekitar 12.000 unit, di antaranya sekitar 8.000 unit dikelola Perumnas (bandingkan dengan jumlah hunian apartemen kelas menengah ke atas yang jumlahnya kini diperkirakan ada 45.000 unit).
Efisiensi APBN
Padahal, seandainya rumah susun sederhana bisa dikembangkan secara massal, penggunaan biaya pembangunan prasarana umum yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bisa lebih efisien. Karena, suatu hal yang pasti adalah, rumah susun sederhana hanya dibangun di daerah-daerah yang sudah berkembang sehingga biasanya jaringan prasarana umumnya, seperti jalan, listrik, air bersih, dan gas, sudah ada.
Sebaliknya, apabila permukiman baru dibangun di pinggiran-pinggiran kota, pemerintah harus mengeluarkan biaya prasarana umum yang lebih besar. "Di rumah susun, paling kami harus menambah jaringan yang sudah ada. Sebaliknya, di permukiman-permukiman pinggiran kota, banyak prasarana umum yang harus dibangun dari baru sama sekali karena di situ memang belum ada jaringannya," kata seorang pejabat Departemen Pekerjaan Umum.
Selain itu, keberhasilan membangun rumah susun sederhana juga bisa menaikkan citra pemerintah yang kini terpuruk karena secara riil rumah susun meningkatkan kualitas hidup rakyat kecil. Lebih dari itu, rumah susun juga bisa mengefisienkan penggunaan lahan dan punya andil besar untuk bisa mengurangi masalah kemacetan lalu lintas di daerah pinggiran Kota Jakarta.
Kemauan politik pemerintah, khususnya Menteri Negara Perumahan Rakyat, ditunggu untuk bisa memacu pembangun rumah susun sederhana bagi rakyat kecil.

Tidak ada komentar: